Satu Hari Saat Aku Bersamamu (Bagian IV)

Written by Siti Lailatul Hajar (Bintang Sahara) on Kamis, 07 Maret 2013 at 19.19


“Priiiiiit.....!!!”
Peluit kereta telah dibunyikan oleh petugas stasiun. Suara khas klakson kereta pun menyusul dibunyikan. Perlahan kereta yang aku tumpangipun bergerak melaju.
“Bismillahirrohmanirrohim”, ucapku dalam hati.
Aku melihat ke arah jendela. Puluhan orang di stasiun mulai melambaikan tangannya kepada orang-orang tersayang atau keluarga dan kerabatnya di kereta yang aku tumpangi.
Aku suka memperhatikan orang-orang yang di stasiun, bandara atau terminal yang melepas keluarganya yang hendak bepergian. Ada emosi reflek yang mereka tampakkan ketika itu. Entah pula kalau ada yang berpura-pura, tapi bagiku itu seperti drama yang tanpa diedit.
Aku tersenyum kecil membayangkannya.
Dalam hati aku terus berucap, “Selamat tinggal Malang. Selamat tinggal teman-teman. Selamat tinggal semua. Terima kasih untuk semua kenangan yang telah diberikan.” Aku menutup mataku, menyandarkan kepala di kursi kereta. Berat sekali rasanya. Tapi kemanapun burung pergi, ia harus kembali ke kumpulannya. Sejauh dan berapa lama pun aku merantau, aku pastinya nanti akan kembali ke tanah kelahiranku.
Kereta melaju dengan kencangnya. Sesekali terdengar bunyi ban besi itu beradu dengan rel. Kerumunan penjual jajanan keliling juga tidak mau kalah berisiknya dengan suara kereta. Di kereta aku suka mendengarkan pengamen bernyanyi, apalagi lagu yang memang diciptakan oleh mereka sendiri. Liriknya unik dan menggelitik, sesekali memberi kritik pada penguasa.
Jika digambarkan keriuhan saat itu, seperti ini. Penjual camilan berteriak “Kacang, tisu, permen, rokok!”, disahut lagi di belakangnya penjual minuman “Yang dingin-yang dingin! Aqua, Fanta, Sprite, Mijon!”, di belakangya lagi penjual minuman hangat “kopi, susu pop mie..”, dari gerbong sebelah juga sampai terdengar kesini, penjual nasi berteriak “Nasi ayam, nasi campur, nasi telor tiga ribu, anget-anget..”.
Nah, yang ini saja pikirku. Aku membuka mataku, berdiri sejenak sambil menoleh ke gerbong belakang melihat si penjual nasi. “Ah, masih jauh”, batinku. Aku kembali duduk sambil mengeluarkan uang pecahan lima ribuan di saku bajuku. Aku sebenarnya tidak suka berbelanja di kendaraan umum. Tapi sejak tadi pagi dan sampai kereta berangkat, perutku benar-benar belum terisi apapun.
Akhirnya penjual yang ditunggu pun datang. Seorang ibu paruh baya dengan lipstik tebal di bibirnya. “Beli satu bu”, kataku ketika ia menoleh ke arahku.
“Dua apa satu bang? Masih hangat nasinya bang”, dia coba merayuku.
Sambil tersenyum, aku menjawab “Satu saja bu”.
Ia lalu meletakkan jualannya ke lantai dan mengambil satu bungkus nasi kemudian menyerahkannya padaku. Kuserahkan uang lima ribuan yang sedari tadi aku genggam. Setelah ia menyerahkan kembaliannya, aku langsung membuka nasi bungus yang baru saja menjadi milikku tersebut.
Memang benar kata si ibu penjual, nasinya masih hangat. Ada sepotong ayam kecil ditambah sedikit mie dan sambal yang mungkin jauh dari kata pedas. Tapi cukuplah untuk mengganjal perutku yang sedari tadi cacingnya mulai berkoar-koar di dalam.
Ibu di depanku lagi tertidur, hanya anaknya yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerikku. Aku coba menawarkan padanya. “Adek mau?”, tanyaku.
Ia menggeleng, lalu memeluk ibunya. Ibunya yang dipeluk akhirnya terbangun. Aku menganggukkan kepala menawarkan makan padanya.
“Monggo..mongoo..” ia menjawab sambil tersenyum.
Setelah nasi di mulutku habis ku kunyah, aku mencoba untuk berbincang dengannya.
“Turun di mana, bu?”
“Semarang”, jawabnya.
“Masnya sendiri turun mau kemana tujuannya?” Ia kemudian balik bertanya.
“Saya mau mudik bu, ke Sumatera. Ini nanti mau turun di Senen”, aku jawab sambil tersenyum dan melanjutkan makanku.
Melihat aku makan dengan lahapnya, si ibu hanya tersenyum. Aku sangat rindu sosok ibuku. Sudah lebih dari 3 tahun aku tidak bertemu lagi dengannya. Terakhir aku pulang, waktu aku masih semester enam. Waktu itu kakekku meninggal dunia. Sebenarnya oleh bapak aku tidak diperkenankan untuk pulang, tapi aku ngotot agar aku dapat pulang. “Aku ingin melihat kakek untuk terakhir kalinya”, itu kata yang aku ucapkan waktu itu agar aku diizinkan pulang oleh bapakku.
Sayang, pesawat yang aku tumpangi tidak tepat waktu. Aku terbang dari Surabaya menuju Bengkulu tepat pukul 07.00 WIB. Karena tidak bisa langsung terbang ke Bengkulu, jadilah aku transit ke bandara Soekarno Hatta-Jakarta. Tepat pukul 08.00 WIB aku sampai di Jakarta untuk transit pesawat ke Bengkulu, sayang pesawat yang akan aku tumpangi mengalami penundaan beberapa jam.
Sempat beberapa kali SMS dan telepon masuk ke handphoneku menanyakan keberadaanku. Dan akhirnya, pukul 09.15 ayahku menelpon dan memohon agar jenazah kakek segera dimakamkan karena sudah hampir satu hari satu malam. Akhirnya, aku memohon maaf kepada semua yang telah mengorbankan waktu menunggu kedatanganku, aku juga dalam hati memohon maaf kepada kakekku dan tak henti-hentinya berdoa agar ia diberi kelapangan di alam kubur, diterima semua amal ibadahnya dan diampuni segala dosa-dosanya. “Aku ikhlas, bapak”, aku berkata sambil menangis.
Kakekku meninggal karena penyakit yang dideritanya sejak lama. Ada pembengkakan pada hidungnya yang disebabkan oleh tahi lalat. Semula tahi lalat itu kecil, namun perlahan membesar. Puncaknya, pada saat kakekku berkunjung ke kediaman saudaranya di Bekasi, kakekku disarankan oleh saudaranya untuk diperiksa. Setelah diperiksa, dokter menyarakan untuk dilakukan operasi agar tidak terjadi pembesaran lebih lanjut.
Sejak kecil kakekku sangat takut dengan yang namanya medis. Mulai dari dokter, disuntik sampai minum obat. Maklum saja orang jaman dulu, di kampung cuma adanya mantri (sekelas dokter), tapi mereka lebih sering menggunakan obat-obatan tradisional daripada yang modern. Jadi kalau sakit, susah sekali membujuknya untuk bisa berobat.
Pernah suatu ketika kakekku sakit. Pada waktu itu ayahku masih bujangan. Dulu, untuk menjemput dokter harus ke kota. Setelah banyak yang membujuk agar kakek mau disuntik oleh dokter, akhirnya ayahku disuruh menjemput dokter. Sesampainya ayahku bersama sang dokter, ternyata kakek sudah kabur dari kamarnya. Semua yang berada di rumah kontan menertawakan ayahku, menertawakan sang dokter yang kebingungan, dan juga menertawakan kekonyolan kakekku saking takutnya dengan yang namanya jarum suntik dan dokter.
Ya, tidak terasa sudah 3 tahun kakek meninggal. Semua masih sangat jelas dalam ingatanku. Bagaimana ia selalu bercerita tentang masa kecilnya, masa mudanya sampai bagaimana ia dan nenek dipertemukan. Meskipun cerita itu selalu diulang-ulang, aku tidak pernah bosan untuk mendengarkannya. Sesekali aku tersenyum bahkan tertawa ketika ada bagian yang menggelitik hatiku.
Aku suka sekali bagian cerita ketika ia tertembak oleh orang Jepang pada zaman penjajahan. Kakekku dengan bangga memperlihatkan bagian bawah lehernya yang menurutnya adalah bekas peluru yang bersarang. Dia juga menerangkan dengan bangga bagaimana ia berhasil membunuh satu orang Jepang pada masa itu. Entah benar atau tidak ceritanya, tapi aku menemukan satu kebanggaan dalam dirinya ketika ia menceritakan hal tersebut.
Itu semua kini tinggal kenangan. Waktu-waktu bersama kakek adalah waktu yang indah bagiku di waktu kecil. Kakek tidak seperti bapakku, kalau bapak suka marah, kakek tidak pernah memarahiku. Bapak selalu bertanya alasan ketika aku meminta uang, kakek tidak. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk sekolah ke Jawa, kakek juga tetap mendukungku. Sayang, kakek tidak sempat melihatku memakai toga.
Ada bulir yang jatuh pelan-pelan dari mataku. Tidak terasa aku menangis. Seketika itu juga aku cepat-cepat menghapusnya. Kembali aku mengarahkan pandanganku ke arah jendela kereta. Senja mulai naik, perlahan matahari jatuh. Kelap-kelip lampu kini mulai menerangi dunia. Dan malam, akhirnya datang.

0 Responses to "Satu Hari Saat Aku Bersamamu (Bagian IV)"

Pages

@suryacinta. Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Our Partners

Categories

Resources

Bookmarks

Bintang Sahara

Semua lebih berarti, apabila dihayati.